Perbedaan masyarakat perdesaan dan perkotaan adalah bagaimana cara mengambil sikap dan kebiasaan dalam menyelesaikan masalah.
Karakteristik masyarakat perdesaan:
- Sederhana.
- Mudah curiga.
- Menjunjung tinggi norma yang ada di daerahnya.
- Memiliki sifat kekeluargaan.
- Lugas, berbicara apa adanya.
- Tertutup dalam masalah keuangan.
- Menghargai orang lain.
- Religius dan demokratis.
- Menepati janji.
Karakteristik masyarakat perkotaan:
- Kehidupan keagamaan yang kurang dari kehidupan keagamaan di desa.
- Tidak terlalu bergantung dengan orang lain.
- Menganut jalan pikiran yang rasional.
- Interaksi yang terjadi lebih mementingkan hal pribadi disbanding umum.
Jelaskan hakikat keragaman dan kesetaraan manusia.
Keragaman adalah perbedaan yang indah, sehingga dalam keragaman kita harus berpikir keindahan yang sangat unik. Karena jika kita tidak melihat suatu perbedaan kita tidak akan melihat suatu keindahan karena tidak ada perbandingan. Sayang banyak individu melihat perbedaan atau keragaman yang berada disekitar mereka adalah sesuatu yang salah. Seharusnya mereka dapat berpikir bagaimana kita dapat menilai sesuatu jika kita tidak dapat membandingkan sesuatu. Aneh tapi itulah kenyataan, kita akan mengerti sesuatu itu indah, itu baik, itu bagus ketika kita sudah menemukan sesuatu pembanding untuk membandingkan sesuatu yang kita nilai. Oleh sebab itu marilah kita berpikir keindahan saat kita menemukan perbedaan sehingga kita dapat memberikan sesuatu yang bearti dalam kehidupan kita. Itulah hakikat dari keragaman dan perbedaan.
Jelaskan kemajemukan dalam dinamika sosial budaya.(Horizontal & Vertikal)
Kemajemukan horizontal yang ditandai dengan adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, kedaerahan, dan sebagainya dan kemajemukan vertikal yang ditandai dengan adanya perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam sangat rentan dengan konflik yang bermuara disintegrasi sosial.
Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan.
Saat ini, kebudayaan nasional Indonesia masih dalam pertumbuhan karena kebudayaan Indonesia masih terdiri atas segala bentuk dan jenis kebudayaan daerah yang dikembangkan ke arah perpaduan dan kesatuan kebudayaan untuk seluruh bangsa Indonesia. Sebagai bahan untuk membangun kebudayaan nasional Indonesia, perlu segala intisari serta puncak-puncak kebudayaan daerah yang terdapat di seluruh Indonesia yang dipergunakan sebagai modal isi yang dikemudian dikembangkan, diperkaya dengan unsur-unsur baru, yang kita perlukan dan kita butuhkan, untuk kehidupan dan pembangunan dewasa ini yang sejalan dengan pembangunan nasional. Pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah semata, juga tidak hanya mengejar kepuasan batiniah, akan tetapi dalam pembangunan juga dibutuhkan adanya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya.
Berikan contoh 1 kasus konflik horizontal di Indonesia serta penyebab dari konflik itu.
Salah satu contoh konflik horizontal di Indonesia adalah konflik Poso.
Penyebab Konflik Poso. Menurut sosiolog Thamrin Amal Tomagola lewat konsepnya yang bertajuk piramida bertingkat tiga. Menurut Tomagola, pada tingkat paling dasar terdapat dua trasformasi utama yang secara fundamental mengubah wilayah.
1) Transformasi demografi.
Kendati Poso telah dimasuki pendatang Islam dan Kristen sejak prakolonial, proporsi migrasi yang cukup signifikan terjadi di masa Orde Baru pasca pembukaan Sulawesi oleh Jalan Trans-Sulawesi, di samping pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara baru. Para pendatang datang dari utara dan selatan Sulawesi. Akibatnya, proporsi pendatang, terutama yang menganut Islam, semakin membesar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang ada di tengah wilayah Poso mulai merasa terjepit dan terancam.
2) Transformasi ekonomi.
Kegiatan ekonomi perdagangan secara perlahan mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan yang berpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Kenyataan ini memperkuat sentimen keterdesakan penduduk asli yang berbasis pertanian yang kebetulan beragama Kristen.
Pada lapisan tengah piramida beroperasi sejumlah faktor suku dan agama yang berkelindan dengan faktor-faktor politik. Dua transformasi di lapisan bawah piramida lalu merembes ke atas dan menempatkan penganut Islam dan Kristen berbasis suku secara diametral. Transformasi struktural masuk dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Mulai lapisan tengah piramida konflik inilah warga setiap agama mulai bertarung. Pertama, pertarungan dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berbagai posisi strategis, baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak berhasil meraih posisi strategis dalam power-sharing secara berimbang, pertarungan tidak meletup dalam bentuk konflik fisik. Berakhirnya masa jabatan bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati (dan sekwilda baru) membuka arena pertarungan baru yang gagal diselesaikan secara politik. Kedua, pertarungan politik yang merambat ke bawah, dari elit ke tengah-tengah massa. Situasi ini menciptakan ketegangan tinggi (high tension) antara kedua komunitas – pendatang dan lokal – yang masing-masing menggunakan simbol agama sebagai identitas.
Puncak piramida diisi faktor-faktor penyulut konflik (aktivitas provokator) serta stereotip-stereotip labeling psikologi sosial serta dendam yang semakin menguat seiring bertambahnya durasi kekerasan. Perkelahian antar pemuda dari kedua pihak merupakan pemicu yang meletupkan ketegangan dan potensi konflik yang mengendap sebelumnya. Terlebih, ini ditambah kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru membuat suhu konflik meningkat tajam dan keharmonisan hidup Poso adalah pengganti tak ternilai harganya. Ketika korban berjatuhan, spiral kekerasan pun lepas kendali.
No comments:
Post a Comment